Euforia Hari Pendidikan: Antara Penghargaan dan Menghargai - OPINI
OPONI oganpost.com - Setiap tanggal 2 Mei, seluruh bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan ini biasanya diwarnai dengan upacara, mengenakan pakaian adat dari berbagai suku dan daerah, serta berbagai kegiatan seremonial lainnya yang mencerminkan semangat kebhinekaan dan kebanggaan terhadap dunia pendidikan.
Momentum ini patut disambut dengan suka cita. Namun, di balik euforia perayaan, kita perlu sejenak merenung. Esok hari, berbagai persoalan dalam dunia pendidikan akan tetap ada—dan bahkan terus bertambah kompleks jika tidak segera dibenahi.
Realitas di lapangan menunjukkan sejumlah tantangan yang masih menghantui dunia pendidikan kita. Mulai dari sulitnya akses masuk ke sekolah negeri akibat praktik titipan, maraknya pungutan liar yang mengatasnamakan kegiatan siswa, hingga kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang memprihatinkan—gedung sekolah yang rusak, peralatan belajar yang terbatas, dan suasana belajar yang tidak kondusif.
Lebih dari itu, masalah sosial di lingkungan sekolah seperti kenakalan remaja, perundungan (bullying), serta minimnya perhatian terhadap kenyamanan dan keselamatan siswa juga menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi peserta didik, justru kadang menjadi sumber keresahan dan tekanan.
Di sisi lain, para guru sering kali disibukkan dengan berbagai kewajiban administratif, pelatihan, serta tuntutan kurikulum yang berubah-ubah. Waktu dan energi mereka tersita untuk memenuhi beban birokrasi, sehingga menyisakan sedikit ruang untuk benar-benar hadir membina karakter, pemikiran, dan keterampilan peserta didik. Padahal, pendidikan bukan sekadar penyampaian materi, melainkan proses pembentukan manusia seutuhnya.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah menurunnya rasa hormat terhadap guru. Jika dahulu guru dipandang sebagai sosok yang dihormati, bahkan diagungkan seperti penasihat raja dalam cerita-cerita kolosal, kini citra tersebut mulai memudar. Relasi antara guru, siswa, dan orang tua lebih banyak bersifat transaksional. Guru dianggap hanya sebagai penyampai materi, sementara pembentukan karakter anak sepenuhnya dibebankan kepada sekolah, seolah menjadi tanggung jawab tunggal lembaga pendidikan.
Padahal, kemitraan antara guru dan orang tua dalam mendidik anak adalah kunci keberhasilan pendidikan. Selama kedua pihak masih berjalan sendiri-sendiri, dengan pandangan “aku dan mereka”, maka akan sulit menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati. Rasa hormat bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan lahir dari hubungan yang saling mengisi, membangun kepercayaan, dan kerja sama yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, pada momentum Hari Pendidikan Nasional tahun 2025 ini, marilah kita bersama-sama melakukan introspeksi dan berbenah. Dunia pendidikan di negeri ini, khususnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang kita cintai, membutuhkan sinergi dari semua pihak—guru, orang tua, siswa, dan pemangku kebijakan—untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Mari kita rayakan Hari Pendidikan bukan hanya dengan seremoni, tetapi juga dengan komitmen nyata untuk saling menghargai dan membangun dunia pendidikan yang bermartabat.(*)
No comments