Penyebab Harga CPO Global Anjlok, Kenaikan Sepanjang 2022 Tak Bersisa

ustrasi Refined, bleached, and deodorized (RBD) palm oil sebagai bahan baku minyak goreng. Harga CPO global anjlok ke bawah 4.500 ringgit per ton karena Indonesia kembali membuka keran ekspor dan kejatuhan harga komoditas minyak nabati lainnya. - The Edge Markets

JAKARTA — Harga CPO global jatuh di bawah 4.500 ringgit Malaysia per ton, level yang tidak terlihat setelah Desember 2021, karena minyak sawit Indonesia mulai mengalir lagi ke pasar global, yang dibarengi dengan koreksi harga minyak nabati lain dan minyak mentah.

Kementerian Perdagangan menyatakan telah menerbitkan 236 persetujuan ekspor kepada 36 perusahaan per 20 Juni yang mencakup volume pengapalan minyak sawit 535.997 ton. Jumlah itu terdiri atas CPO 36.500 ton, RBD palm oil 210.107 ton, RBD palm olein 288.010 ton, dan minyak jelantah atau used cooked oil (UCO) 1.380 ton. 

Merespons itu, CPO diperdagangkan di bawah 5.000 ringgit per ton untuk hari kedua. Harga kontrak September ditutup 4.498 ringgit per ton pada perdagangan Rabu (22/6) di Bursa Derivatif Malaysia, anjlok 9,7% dari harga penutupan hari sebelumnya.

“Peningkatan ekspor dari Indonesia tersebut mengindikasikan potensi melonjaknya pasokan di pasar global sehingga tentunya menjadi sentimen negatif bagi pergerakan harga CPO,” kata Research & Development ICDX Girta Yoga, Rabu (22/6/2022).

Dia juga melihat permintaan global yang melemah turut membebani harga CPO. Pelemahan permintaan terlihat pada laporan ekspor Malaysia untuk 1—20 Juni yang menunjukkan penurunan 10,5% ke 738.368 ton dibanding periode yang sama bulan lalu. 

Pada saat yang sama, penurunan harga minyak nabati lain ikut menjadi faktor pemberat harga CPO. Minyak kedelai di Chicago Board of Trade pengiriman Desember tercatat US$0,7 per pon, menuju penurunan terpanjang sejak 2019. Minyak kanola yang kemarin diperdagangkan US$928 per ton juga menghapus kenaikan harga sepanjang tahun berjalan.

Bloomberg mewartakan harga komoditas pertanian, termasuk minyak nabati, turun karena para trader menimbang data tentang panen dan resesi yang membayangi beberapa ekonomi utama.

Bayang-bayang resesi mendinginkan harga minyak mentah yang pada gilirannya mengurangi daya tarik bahan bakar nabati (biofuel), termasuk yang berbahan baku minyak sawit. Harga minyak West Texas Intermediate kini berkisar US$104 per barel, jatuh untuk kedua kalinya dalam beberapa hari di tengah kekhawatiran bahwa perlambatan ekonomi global pada akhirnya akan melumpuhkan permintaan. 

Menurut analis Agritel, prospek resesi membebani harga komoditas. Ekonomi yang lemah dapat berarti penggunaan bahan bakar yang lebih rendah atau mendorong pembeli mengurangi makanan yang harganya naik.

Melihat situasi pasar saat ini, ICDX memperkirakan harga CPO hingga akhir tahun berpotensi bergerak dengan level resistance di kisaran 6.000—6.500 per ton. Apabila mendapat katalis negatif, maka harga berpotensi turun menuju level support di kisaran 3.500—4000 ringgit per ton. Proyeksi terbaru ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang melihat harga CPO hingga pengujung tahun ini bergerak di level support 4.500—5.500 ringgit, sedangkan di level resistance berkisar 7.000—8.000 ringgit. 

Penurunan harga komoditas pertanian menawarkan sedikit ‘hawa dingin’ bagi inflasi pangan yang memanas sejak perang Rusia-Ukraina pecah. Panen gandum dimulai di belahan bumi utara, dengan analis terus meningkatkan perkiraan produksi untuk beberapa produsen utama seperti Rusia, menyusul cuaca yang menguntungkan.

AS akan memberikan data terbaru tentang kemajuan panen gandum musim dingin pada Selasa pekan depan. Harga yang mereda ini mungkin memberikan sedikit kelegaan bagi konsumen global yang menghadapi peningkatan pesat biaya hidup dan peningkatan kerawanan pangan. 

Indeks harga pangan FAO tercatat 157,4 poin pada Mei, turun dari rekor tertinggi pada Maret setelah invasi Rusia menyumbat ekspor bahan pangan dari Ukraina, salah satu pengirim biji-bijian dan minyak nabati teratas.

“Ada tanda-tanda krisis pangan global mungkin mendekati puncaknya,” kata Chua Hak Bin, ekonom di Maybank Investment Banking Group. Dia menambahkan, kemerosotan minyak sawit akan mengurangi tekanan pada harga minyak goreng. 

Jagung jatuh sebanyak 5% menjadi US$6,9 per gantang, menyentuh harga harian terendah sejak Maret. Kedelai merosot ke US$14,9 per gantang, level terendah sejak Februari, sementara gandum tergelincir di bawah US$10 per gantang hingga menyentuh harga terendah sejak awal April. Namun, kekhawatiran cuaca tetap ada. 

Selain itu, produksi dan ekspor Ukraina terbatas karena invasi Rusia. Kondisi itu bisa menghela harga pada masa depan. 

“Pengamat pasar akan melihat apakah gelombang panas pekan lalu akan mengganggu kondisi jagung di di AS,” kata analis Farm Futures Jacqueline Holland. 

Sebuah badan Uni Eropa memangkas prospek produktivitas gandum lunak di blok itu ke tingkat di bawah rata-rata dalam laporan pada Senin, menyusul musim semi yang panas dan sarat kekeringan. Kekeringan juga akan tetap menjadi perhatian di sebagian besar sentra jagung dan kedelai di AS hingga awal Juli, menurut peramal Maxar.(Bisnis.com)


No comments

Powered by Blogger.