Amit-amit Ancaman Bangkrut Laos dan Myanmar Menular ke Indonesia

Ekonomi menilai krisis Laos dan Myanmar yang mengancam keduanya bangkrut bisa saja menular ke Indonesia seperti krisis mata uang Thailand 1998 silam. (REUTERS/Rupak de Chowduri).

1. Amit-amit Ancaman Bangkrut Laos Dan Myanmar Menular Ke Indonesia

JAKARTA -- Krisis ekonomi yang dialami Laos dan Myanmar berpotensi membawa dua negara di Asia Tenggara itu mengikuti jejak Sri Lanka yang bangkrut. Mengutip AP, Senin (11/7), laporan bertajuk Crisis Response Group yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menunjukkan ekonomi Laos tertekan sejak pandemi covid-19. Krisis semakin menjadi-jadi karena perang Rusia dan Ukraina.

Utang Laos melonjak hingga miliaran dolar AS. Pemerintah Laos mengajukan restrukturisasi utang demi meringankan beban keuangan negara. Tidak hanya itu, cadangan devisa (cadev) Laos hanya tersisa kurang dari dua bulan. Mata uangnya pun sudah kehilangan nilainya hingga 30 persen.

Lain Laos, lain pula Myanmar. Krisis ekonomi Myanmar terjadi terutama karena ketidakstabilan politik negara itu. Setelah aksi kudeta militer terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 lalu, banyak investor angkat kaki dari Myanmar.

Akibatnya, ekonomi Myanmar minus 18 persen pada 2022 dan diproyeksi tak tumbuh tahun ini. Bahkan, Bank Dunia tak sudi memasukkan Myanmar dalam menghitung pertumbuhan ekonomi global hingga 2024 nanti. Berkaca pada dua negara kawasan ini, haruskah Indonesia mulai pasang kuda-kuda?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan krisis ekonomi yang terjadi di Laos dan Myanmar berpotensi menular di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut Bhima, peristiwa krisis mata uang yang bermula di Thailand pada 1998 silam dan merambat ke Indonesia berpotensi terulang. Sebab, krisis Myanmar dan Laos juga bersifat sistemik.

"Pada 1998 itu kan ada krisis mata uang Thailand, merambat ke Indonesia. Sekarang ada kekhawatiran yang sama," ungkap Bhima kepada CNNIndonesia.com.

Pertama, investor akan semakin hati-hati untuk menanamkan dana di kawasan Asia Tenggara. Sebab, dua negara di kawasan itu sedang tidak baik-baik saja. "Jadi ada potensi juga investasi ke RI berkurang," imbuh dia. Ketika investasi menurun, maka dampaknya akan buruk ke pertumbuhan ekonomi. Maklum, investasi merupakan salah satu indikator perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).

Kedua, aliran modal asing berpotensi kabur dari Indonesia. Jika hal itu terjadi, rupiah akan melemah. "Efeknya ke biaya impor pangan dan energi akan signifikan. Rupiah melemah kan berarti barang impor akan jauh lebih mahal untuk membayar impor," papar Bhima.

Ketiga, ancaman inflasi. Saat ini, lonjakan inflasi terjadi hampir di seluruh negara maju dan ikut membayangi negara-negara Asia. Inflasi Indonesia per Juni 2022 saja menyentuh 4,35 persen, yang tercatat tertinggi dalam 5 tahun terakhir.

Belum lagi, hampir semua negara sedang mengalami krisis pangan dan krisis energi. Tidak terkecuali Laos, Myanmar, juga Indonesia. Semua bahan pangan dan bahan bakar melonjak tidak karu-karuan, sehingga ancaman inflasi semakin nyata. Yang harus diperhatikan juga, kata Bhima, pengungsi yang datang dari Myanmar dan Laos jika dua negara itu benar-benar dinyatakan bangkrut.

"Beban pemerintah bertambah, jadi rebutan pasar tenaga kerja, pemerintah pusat harus memberikan tempat layak, makanan untuk pengungsi," katanya.

Kekhawatirannya, beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kalau tidak hati-hati, defisit bisa kembali membengkak dan kas negara bisa terjun bebas.

Ancaman lain, krisis yang terjadi di Myanmar dan Laos bakal berpengaruh terhadap neraca dagang RI. Ekspor yang dikirim ke dua negara tersebut berpotensi berkurang. "Perdagangan Indonesia dengan Laos dan Myanmar lumayan, jadi ada pengaruhi," tutur Bhima.

Bhima memaparkan ekspor RI ke Laos sebesar US$22,7 juta atau berkontribusi 0,02 persen terhadap total ekspor pada Januari-Mei 2022. Sementara, ekspor RI ke Myanmar sebesar US$349,9 juta atau berkontribusi 0,32 persen terhadap total ekspor periode Januari-Mei 2022.

Ketika ekspor berkurang, maka akan berdampak negatif untuk pertumbuhan ekonomi. Ingat, ekspor juga menjadi salah satu indikator perhitungan PDB. Menurut dia, dampak krisis yang terjadi di Myanmar dan Laos akan terasa dalam jangka pendek atau selambat-lambatnya tiga bulan ke depan.

Namun, Bhima belum melihat ancaman RI jadi bangkrut, seperti Laos dan Myanmar yang dinilai berpotensi menyusul Sri Lanka. Sebab, cadangan devisa RI masih cukup kuat. "Indonesia belum seburuk itu, cadev masih gemuk," tegas Bhima.

Bank Indonesia (BI) mencatat cadev RI sebesar US$136,4 miliar per Juni 2022. Angka itu naik dari bulan sebelumnya yang sebesar US$135,6 miliar. Meski begitu, bukan berarti pemerintah bisa ongkang-ongkang kaki. Sebab, utang negara juga terus bertambah. Memang, rasio utang terhadap PDB masih rendah cuma 38,88 persen hingga Juni 2022.

Tapi, Bhima mengingatkan utang suatu negara tak hanya diukur dari rasio. "Coba digabung dengan rasio utang swasta. Sebab, trik utang negara adalah dibebankan ke BUMN penugasan. Tapi nanti kalau ada masalah di BUMN, ujung-ujungnya APBN yang menangani. Jadi, rasio utang tidak menggambarkan kondisi yang komprehensif," papar Bhima.

Mengutip buku APBN Kita, jumlah utang negara mencapai Rp7.002 triliun pada Mei 2022. Angka itu naik dari posisi bulan sebelumnya yang hanya sebesar Rp7.040 triliun.

"Risiko-risiko yang ada di Myanmar dan Laos, bisa (menimpa) kita (Indonesia) kalau tidak dilakukan mitigasi. Juga kalau tak antisipasi kinerja ekspor terganggu, surplus kecil, aliran asing keluar," jelasnya mengingatkan.

2. Tak Berdampak Besar

Ekonomi menilai krisis Laos dan Myanmar yang mengancam keduanya bangkrut bisa saja menular ke Indonesia seperti krisis mata uang Thailand 1998 silam. (AFP/Lillian Suwanrumpha).

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal punya pendapat berbeda. Menurut dia, krisis ekonomi Laos dan Myanmar tak akan berpengaruh besar terhadap kawasan Asia Tenggara dan Indonesia. 
Pasalnya, kontribusi dua negara itu kecil di kawasan Asia Tenggara. 

"Kalau efek Laos dan Myanmar kecil, PDB rendah di Asia," tutur Faisal.

Bahkan, ia menilai sikap investor juga tak akan berubah kepada negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. "(Pengaruh) kecil. Kecuali kalau yang krisis Thailand, lebih besar pengaruhnya," katanya.

Dari sisi perdagangan, Faisal melihat pengaruhnya ke Indonesia juga tak seberapa. Sebab, negara tujuan utama ekspor RI di Asia adalah Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

"Jadi (situasi Laos dan Malaysia) ke neraca dagang tidak terlalu berpengaruh," terang dia.

Kendati begitu, ia mengingatkan pemerintah harus tetap waspada. Apalagi, utang negara terus meningkat sejak pandemi covid-19. Ia juga sependapat dengan Bhima yang menilai bahwa rasio utang yang rendah terhadap PDB tak selamanya mengartikan negara itu baik-baik saja.

"Jadi tetap waspada, apalagi ada contoh-contoh negara hampir bangkrut. Pemerintah harus berjaga-jaga meski indikator makro RI lebih stabil," tutup Faisal.(CNN indonesia)


No comments

Powered by Blogger.