Buka Forum G20, Sri Mulyani Ingatkan Ancaman Krisis Pangan hingga Resesi Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memimpin pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat - POOL

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka pertemuan menteri keuangan dan bank sentral atau 4th Financial Ministers and Central Bank Governor Meeting (FMCBG) G20 Kamis (13/10/2022) di Washington DC, Amerika Serikat.  Dalam pertemuan tersebut, Sri Mulyani mengingatkan ancaman krisis pangan hingga resesi global yang menghantui dunia pada tahun ini hingga 2023. 

"Kita bertemu kembali saat kondisi ekonomi global semakin menantang. Kita sekarang menghadapi risiko yang semakin meningkat, inflasi yang tinggi, pertumbuhan yang lemah, kerawanan energi dan pangan, perubahan iklim, dan fragmentasi geopolitik," ujar Sri Mulyani di hadapan delegasi G20 di Washington DC, Kamis (13/10/2022).

Dia melanjutkan Perang Rusia vs Ukraina terus memperparah krisis ketahanan pangan dan gizi global dengan harga energi dan pupuk yang tinggi dan fluktuatif, kebijakan perdagangan yang dibatasi, serta gangguan rantai pasokan.

Meningkatnya harga pangan di level global, lanjutnya, membuat makanan tetap tidak terjangkau bagi banyak orang. Sri Mulyani menilai konsekuensi dari pandemi dan kejutan dari cuaca ekstrem kemungkinan akan membuat harga pangan tetap tinggi. 

Kondisi diperburuk lantaran harga pupuk masih fluktuatif.Bukan itu saja, pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina telah membuat harga energi melonjak. 

"Krisis energi telah mempengaruhi sebagian besar negara, tetapi negara-negara berkembang terutama negara-negara importir bersih menghadapi beban tertinggi," jelasnya. 

Sri Mulyani mengatakan dunia melihat pengetatan kebijakan moneter global yang lebih cepat dari yang diantisipasi, dengan banyak bank sentral ekonomi maju dan berkembang menaikkan suku bunga mereka secara signifikan. 

Sementara itu, harga komoditas yang melonjak meningkatkan inflasi dan suku bunga global serta pengetatan likuiditas meningkatkan risiko tekanan. Bukan hanya untuk negara berpenghasilan rendah dan menengah, tetapi negara maju.

Kondisi tersebut diperparah, kata Sri Mulyani, lantaran banyak negara yang sudah memiliki utang luar negeri yang cukup besar untuk menyelamatkan ekonomi dari pandemi. Parahnya, pengetatan moneter global yang lebih cepat dan di antisipasi menimbulkan risiko terbesar bagi negara yang sangat rapuh. 

Sri Mulyani dapat memperkirakan bahwa situasi global tetap sulit pada 2022 dan mungkin dapat berlanjut pada 2023. 

"Kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan peningkatan risiko resesi global. Saya menilai tagline Presidensi G20 Indonesia dengan tagline 'recover stronger, recover together' sangat relevan dengan kondisi saat ini," ucap Sri Mulyani.(Bisnis.com)


No comments

Powered by Blogger.