Bisakah Jokowi Netral saat Gibran Turun Gelanggang Pilpres?

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan kunjungan kenegaraan beberapa waktu lalu. (Biro Pers Sekretariat Presiden)

JAKARTA -- Ketua Umum Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akhirnya resmi untuk ketiga kalinya mendaftar sebagai calon presiden dalam perhelatan Pilpres RI.

Pria yang diusung gabungan partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu menggaet Wali Kota Solo yang juga dikenal sebagai putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calon wakil presiden yang didaftarkan ke KPU pada Rabu (25/10) lalu.

Gibran yang masih berusia 36 itu melenggang setelah ada putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada 16 Oktober 2023 lalu. Putusan itu membuat syarat peserta pilpres jadi 'minimal berusia 40 tahun atau sudah/sedang menjabat kepala daerah hasil pemilu'.

"Bagaimana? Enggak salah pilihan kan aku, paten enggak? Paten enggak wakil presiden kita?" ujar Prabowo bertanya ke para pendukung dan relawan dirinya di Indonesia Arena, GBK, Jakarta, Rabu pagi lalu sebelum ke KPU.

"Terlalu muda enggak? Gue terlalu tua enggak?" tanya Prabowo yang dijawab dengan riuh oleh ribuan pendukungnya di sana.

Di dalam koalisi pengusung Prabowo itu terdapat pula Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang ketua umumnya adalah adik kandung Gibran, Kaesang Pangarep.

"Yang paling saya sayangi Ketua Umum Partai PSI," ucap Gibran tersenyum kepada Kaesang saat menyapa para ketum parpol koalisi pengusungnya dan Prabowo di Indonesia Arena kemarin.

Di satu sisi, Presiden Jokowi mengklaim tak akan terlalu mencampuri urusan Gibran itu. Menurutnya, tugas orang tua hanyalah merestui dan mendoakan.

Selain itu, Prabowo sendiri juga mengklaim ia tak akan menggunakan fasilitas negara untuk pemenangan Pilpres 2024 nanti kala ia maju bersama Gibran.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati mengatakan Pilpres 2024 nanti bakal menjadi sejarah besar dalam politik Indonesia. Pasalnya dalam sejarah pilpres secara langsung di RI kelak bakal pertama kalinya diikuti anak presiden yang tengah menjabat.

"Ini kan pengalaman pertama kita, bisa dibilang begitu bahwa anak presiden itu menjadi cawapres di pemilu selanjutnya yang bapaknya masih menjabat," kata Mada kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/10).

Atas dasar itu, menurutnya menjadi sangat penting untuk membicarakan potensi konflik kepentingan.

Mada menyebut indikasi konflik kepentingan itu mulai terendus sejak sidang Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas minimum usia capres dan cawapres.

Pada pokoknya, putusan itu lah yang membuat Gibran bisa melenggang menjadi cawapres.

Putusan MK itu sendiri saat ini tengah disidangkan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) di mana terlapor dugaan etiknya adalah Ketua MK Anwar Usman.

Anwar yang merupakan adik ipar Jokowi itu menjadi satu dari tiga hakim yang unggul suara untuk putusan MK ''calon presiden atau calon wakil presiden harus minimal berusia 40 tahun atau sudah/sedang menjabat kepala daerah hasil pemilu'.

Risiko pendayagunaan sumber daya dan aparatur negara

Lalu, menurut Mada yang tak kalah penting juga untuk disorot ialah risiko potensi pendayagunaan sumber daya dan aparatur negara untuk pemenangan paslon dalam pilpres mendatang.

Apalagi, Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran juga dinakhodai dua menteri Jokowi, ialah Wamen BUMN Rosan Roeslani dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Rosan sendiri kemarin mengaku akan mengundurkan diri dari jabatan Wamen BUMN.

Selain itu, di jajaran ketum partai KIM pun terdapat pula sejumlah menteri. Selain Prabowo selaku Menhan dan juga Ketum Gerindra, ada pula Airlangga Hartarto selaku Ketum Golkar dan Menko Perekonomian, Zulkifli Hasan selaku Ketum PAN dan Menteri Perdagangan.

Selain itu ada pula Ketum relawan Projo, Budi Arie Setiadi, yang juga dikenal sebagai Menkominfo.  Para relawan Projo diketahui pada Rabu lalu ikut dalam keramaian mengantar Prabowo-Gibran untuk mendaftar Pilpres 2024 ke KPU.

"Mobilisasi kepolisian dan tentara untuk pemenangan Gibran. Nah, saya kira itu kemudian demokrasi kita sudah benar-benar di ujung tanduk dan itu selangkah lagi saja masuk ke masa kelam otoritarianisme," ujar Mada mewanti-wanti.

"Yang kita khawatirkan terjadi ya mereka yang punya akses langsung ya. Misalnya rotasi Kapolda, Kepala BIN, jabatan-jabatan strategis lain baik di tubuh polisi maupun tentara ya itu yang kemudian kita khawatirkan kalau hanya misinya untuk menangkan satu calon," imbuhnya.

Selain itu, Mada juga tak luput menyoroti penjabat gubernur di provinsi yang tengah menjabat hari ini imbas pilkada yang baru dilaksanakan serentak pada 2024 mendatang. Diketahui para pemimpin daerah itu untuk sementara dipilih pemerintah pusat--presiden atas rekomendasi mendagri--untuk menjadi penjabat kepala daerah hingga ada kepala daerah definitif hasil pilkada.

Mada menilai keberadaan para penjabat pilihan presiden itu juga berpotensi untuk memobilisasi alat negara dalam pemenangan salah satu paslon. Apalagi, para penjabat gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Oleh karenanya, ia pun mendorong agar masyarakat sipil terlibat penuh dalam mengawal proses pemilu hari ini.

"Sehingga yang kemudian bisa kita lakukan ya, harus menjaga aparatus negara ini karena mempertaruhkan TNI/Polri itu adalah pertaruhan yang besar," ucap dia.

Pertanyaan atas netralitas Jokowi

Terpisah, akademisi Universitas Padjadjaran Idil Akbar menyebut agak sukar untuk menerapkan netralitas bagi Jokowi.

"Cuma pertanyaannya bagaimana kemudian beliau tak terlihat untuk berdiri di salah satu pihak itu kan pertanyaan besar sebetulnya," kata Idil saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Ia mengatakan di depan publik, Jokowi tak akan secara terang-terangan menyatakan dukungan ke salah satu paslon. Namun, menurut Idil, tak menutup kemungkinan Jokowi menggunakan tangan-tangan kuasanya terhadap paslon tertentu dalam Pilpres 2024.

"Secara tak langsung mungkin dia menggunakan tangan kuasa untuk mendorong agar pasangan Prabowo-Gibran itu lebih 'diperhatikan', dioperasikan," ujarnya.

Ia menyebut penggunaan tangan kekuasaan pihak lain itu bentuknya bisa bermacam-macam. Dan, sambungnya, yang paling pasti digunakan ialah sumber daya politik. Salah satunya melalui pendukung politik Jokowi selama ini.

"Katakan misal Projo atau relawan-relawan lain dan secara kepartaian melalui tangan-tangan yang lain katakan lah, partai yang memang selama ini dukung Jokowi itu juga akan dikerahkan," ucap Idil.(CNN indonesia)

No comments

Powered by Blogger.