G20 Gagal Capai Kesepakatan di Tengah Ancaman Resesi Global

Pertama, banyak anggota menilai perang Rusia-Ukraina menjadi biang kerok ekonomi dunia jeblok dan terancam resesi.
JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengisyaratkan tak ada pernyataan bersama atau komunike dalam pertemuan ketiga menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di tengah ancaman resesi global. Ia mengatakan pertemuan itu menghasilkan 14 poin. Namun, tak semua menteri keuangan dan gubernur bank sentral sepakat dengan poin pertama dan kedua.

"Kebanyakan paragraf didukung banyak negara, hanya dua paragraf yang memiliki perbedaan dan merefleksikan tidak bisa rekonsiliasi," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Bali, Sabtu (16/7).

Pertama, banyak anggota menilai perang Rusia-Ukraina menjadi biang kerok ekonomi dunia jeblok dan terancam resesi.

"Banyak anggota (G20) sepakat bahwa pemulihan ekonomi ekonomi global melambat akibat perang Rusia-Ukraina yang dikecam keras dan menyerukan diakhirinya perang," kata Sri Mulyani.

Namun, beberapa negara G20 memiliki pandangan lain mengenai perang Rusia-Ukraina. Sebab, terdapat negara yang mendukung Rusia.

"Karena ingin menyampaikan pandangan isu tertentu, terutama perang maka pernyataan perang tersebut masih ada pandangan-pandangan berbeda di G20, sebagai persepsi oposisi negara anggota," jelas Sri Mulyani.

Kedua, beberapa negara G20 khawatir mengenai risiko krisis pangan. Namun, sejumlah negara G20 lain juga khawatir mengenai krisis energi.

Mengutip laman resmi G20, tak ada perbedaan dalam poin tiga sampai 14. Poin ketiga berisi tentang bank sentral berkomitmen untuk menstabilkan harga barang. Hal ini agar inflasi di sejumlah negara juga kembali ke level aman.

Keempat, G20 juga sepakat untuk memprioritaskan pembentukan dana perantara keuangan (FIF) untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi (PPR).

Kelima, negara G20 sepakat untuk mengatasi penggelapan pajak. Keenam, G20 berkomitmen memperkuat sistem keuangan jangka panjang, termasuk mengembangkan pasar modal.

Ketujuh, negara G20 membentuk resilience and sustainability trust (RST) untuk membantu pendanaan bagi negara berpenghasilan rendah. Kedelapan, G20 berkomitmen meningkatkan investasi infrastruktur yang berkelanjutan.

Kesembilan, G20 berkomitmen untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan perlindungan lingkungan. Kesepuluh, negara G20 sepakat untuk terus mendorong transisi energi bersih.

Kesebelas, G20 memandang perlu memperkuat ketahanan sistem keuangan global. Ke-12, negara G20 menyiapkan regulasi aset kripto yang komprehensif.

Ketiga belas, G20 akan meningkatkan inklusi keuangan karena pandemi covid-19 telah memperlebar ketimpangan bagi kelompok orang kaya dengan masyarakat miskin. Hal itu membuat jumlah masyarakat yang tak terlayani sektor keuangan semakin banyak.

Keempat belas, G20 akan meningkatkan kapasitas Satuan Tugas Aksi Keuangan (FATF) sebagai upaya memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris.

Sebelumnya, Presiden Bank Dunia David Malpass sudah mewanti-wanti bahwa beberapa negara sulit menghindari resesi karena perang antara Rusia-Ukraina hingga gangguan rantai pasok di global.

"Perang di Ukraina, penguncian di China, gangguan rantai pasok, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," ungkap Malpass.

Dalam ilmu ekonomi, suatu negara disebut resesi setelah mengalami kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut.Meski begitu, Bank Dunia mengisyaratkan bahwa Indonesia bebas dari ancaman resesi.

Menurut laporan Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects periode Juni 2022, ekonomi Indonesia diproyeksi tumbuh 5,1 persen. Angka itu memang turun 0,1 persen dari proyeksi yang dirilis Bank Dunia pada Januari 2022.

Tapi tetap lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi RI yang sebesar 3,7 persen pada 2021. Bahkan, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia semakin bergeliat sampai 2024. Lembaga internasional itu memproyeksi ekonomi RI tembus 5,3 persen pada 2023 dan 2024.(CNN indonesia)


No comments

Powered by Blogger.