Omnibus Law Keuangan 'Goyang' Independensi Bank Indonesia

LUSTRASI. Omnibus Law Keuangan 'Goyang' Independensi Bank Indonesia - Bisnis


 

JAKARTA - Independensi bank sentral atau Bank Indonesia kembali dalam sorotan. Hal tersebut menyusul keputusan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang memberikan karpet merah kepada anggota atau pengurus partai politik (parpol) untuk menjabat sebagai Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI).

Ketentuan tersebut tertuang di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang telah dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah tertanggal 16 Juni 2022.

Dalam draf yang diperoleh Bisnis, DPR menghapus Pasal 47 huruf c dalam substansi mengenai BI di dalam regulasi yang menggunakan konsep omnibus law tersebut. Secara detail, Omnibus Law Keuangan itu menghapus klausul mengenai larangan Anggota Dewan Gubernur untuk menjadi pengurus dan atau anggota partai politik.

Faktanya, dalam beleid sebelumnya yakni UU No. 3/2004 tentang Perubahan atas UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang menjadi pengurus dan atau anggota partai politik.

Sejalan dengan dihapusnya klausul itu, dan apabila RUU disepakati, maka Anggota Dewan Gubernur BI legal untuk menjadi anggota partai politik. Pun sebaliknya, kader partai berhak untuk menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia.

Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan penghapusan substansi itu memang terakomodasi di dalam RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disusun oleh politikus Senayan.

Akan tetapi, dia tidak bersedia memberikan alasan ataupun penjelasan mengenai keputusan legislatif dan eksekutif mengenai hal itu.

“Nanti kita lihat secara menyeluruh,” kata Hendrawan kepada Bisnis, Senin (4/7). Independensi BI memang acap diutak-atik dalam berbagai kesempatan, terutama kala pemerintah dan DPR menyusun regulasi di sektor keuangan.

 

Jauh sebelum menyusun RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, upaya untuk menggoyahkan kemandirian bank sentral dilakukan melalui revisi UU BI. Tepatnya pada pertengahan 2020 atau ketika pandemi Covid-19 menghampiri Indonesia. Berdasarkan dokumen yang diperoleh Bisnis kala itu, ketentuan dalam Pasal 9 UU BI dihapus dan ditambahkan substansi mengenai kewenangan Dewan Moneter dalam draf perubahan.

 

Padahal, Pasal 9 UU BI menjelaskan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. UU itu juga menegaskan bahwa BI wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

UU itu juga menegaskan bahwa BI wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Namun, dalam draf revisi yang diusulkan pemerintah, pasal yang menegaskan soal indenpendensi BI tersebut dihapus. Dalam matriks persandingan antara UU lama dan UU amendemen BI, pemerintah justru menambahkan Dewan Moneter.

Dewan Moneter bertugas sebagai penentu kebijakan moneter, yang dikoordinasi oleh Menteri Keuangan dan terdiri dari 5 anggota yaitu Menteri Keuangan dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI dan Deputi Gubernur Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Keputusan Dewan Moneter diambil dengan musyawarah untuk mufakat. Apabila Gubernur BI tidak dapat memufakati hasil musyawarah Dewan Moneter, Gubernur BI dapat mengajukan pendapatnya kepada pemerintah.

Namun, revisi UU tentang bank sentral batal sejalan dengan keputusan pemerintah yang mengajukan Omnibus Law Keuangan pada tahun yang sama. Rumusan regulasi sapu jagat ini juga mengakomodasi perubahan UU tentang BI. Hanya saja, Omnibus Law Keuangan yang kala itu berjudul RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan kembali meneguhkan independensi otoritas moneter.

Dalam rumusan naskah yang diterima Bisnis pada November 2020, ditegaskan bahwa bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. Bank sentral juga berhak menolak atau mengabaikan intervensi dari pihak luar.

Ketentuan itu sama persis dengan regulasi sebelumnya yang selama puluhan tahun diimplementasikan dan terbukti efektif menjaga independensi bank sentral. Tak dinyana, amputasi kewenangan BI kembali tertuang di dalam naskah terbaru Omnibus Law Keuangan yang kini berubah menjadi RUU inisiatif parlemen.

Dalam kaitan pembahasan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Hendrawan mengatakan bahwa substansi yang terakomodasi adalah seluruh aspek bisnis hingga penataan keuangan, termasuk bank sentral.

 

“Yang dicakup semua lembaga di sektor keuangan. Penyelesaiannya kalau bisa lebih cepat kenapa tidak? Yang penting kualitas UU baik,” ujar Hendrawan. Sementara itu, sejumlah pejabat BI yang dihubungi Bisnis tidak merespons permintaan tanggapan terkait dengan dibukanya pintu untuk anggota partai dalam internal otoritas moneter.

 

Di antaranya adalah Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo dan Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono.

 

Muatan Politis

Sulit dibantah, dihapusnya huruf dalam Pasal 47 UU BI itu kental dengan muatan politis. Apalagi, jabatan Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI akan berakhir pada tahun depan. Artinya, pada 2023 DPR harus menggelar uji kelayakan calon Gubernur Bank Sentral. Tak bisa dimungkiri, 2023 adalah pintu awal menuju tahun politik.

Seluruh partai peserta pemilihan umum (Pemilu) pun ancang-ancang untuk menimbun amunisi sehingga mampu bermanuver untuk memenangkan kontestasi politik 5 tahunan. Indikasi muatan politis kian kuat lantaran pembahasan hingga penyusunan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dilakukan dengan sangat tertutup.

Tanpa partisipasi publik. Memang, rencana penyusunan Omnibus Law Keuangan telah mencuat sejak 2020. Namun, pada tahun lalu regulasi sapu jagat ini menguap. Pembahasan tertenti, seolah dipetieskan.

Munculnya draf baru secara tiba-tiba menimbulkan risiko sosial yang teramat besar. DPR dan pemerintah seyogianya belajar pada pengalaman UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja yang dibahas tertutup sehingga menimbulkan gelombang protes yang cukup deras.

“Perlu disosialisasikan ke publik penyusunan regulasi ini. Apalagi Omnibus Law Keuangan ini belum banyak diketahui secara luas oleh publik,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Bisnis.

Menurutnya, DPR selaku wakil rakyat wajib melakukan sosialisasi Omnibus Law Keuangan. Hal ini diperlukan agar beleid yang disusun menampung aspirasi masyarakat dan pelaku usaha, terutama di sektor keuangan.

 Terkait dengan usulan legalisasi kader partai dalam internal BI, Yusuf juga meminta adanya rasionalisasi. Pasalnya, hampir tidak ada alasan yang bisa melegalisasi keterlibatan partai dalam sebuah bank sentral.

“Jangan sampai muncul asumsi gubernur ataupun anggota dewan gubernur yang aktif kemudian bisa terlibat dalam politik praktis,” tegasnya.

Bank sentral adalah lembaga yang sangat penting. Dalam menjalankan tugasnya, BI wajib ditempati oleh figur yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam mengelola, mengatur, hingga menjaga stabilitas sektor keuangan. 

Faktor yang lebih penting adalah independensi. Dibukanya pintu partai dalam kantor BI berpotensi mengoyak kemandirian bank sentral. Jika demikian, bisa dipastikan kepercayaan publik pada lembaga tersebut akan memudar.(Bisnis.com)


 

 



 

 

 

 

No comments

Powered by Blogger.