Tekan Kerugian Pertamina Akibat BBM Subsidi, Ini Usulan Energy Watch

Antrean kendaraan membeli Pertalite dengan harga khusus di jalur khusus yang telah disediakan pada SPBU yang berpartisipasi. - Istimewa

JAKARTA — Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meminta pemerintah untuk menambah kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk mengurangi potensi kerugian kompensasi dan subsidi PT Pertamina (Persero) dari over kuota yang diprediksi melebar hingga 5,11 juta kiloliter pada akhir 2022. 

Potensi kelebihan konsumsi BBM bersubsidi itu diproyeksikan bakal menambah kerugian kompensasi dan subsidi yang tidak diganti untuk pengadaan Pertalite dan Solar mencapai Rp39,18 triliun. 

“Karena memang pemerintah hanya akan membayar kompensasi dan subsidi sesuai dengan kuota yang ditetapkan di awal tahun sebesar 23,05 juta KL, lebih dari itu akan jadi tanggungan Pertamina,” kata Mamit saat dihubungi, Rabu (6/7/2022).

Dengan demikian, Mamit meminta pemerintah dapat menambah kembali kuota BBM bersubsidi pada tahun ini untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi yang mesti ditanggung Pertamina.

Padahal, kata dia, komitmen untuk penambahan kuota BBM bersubsidi itu sudah sempat disetujui oleh legislatif pada April 2022 lalu. Hanya saja, Kementerian Keuangan disebutkan belum memberi persetujuan untuk menambah kuota BBM murah tersebut untuk Pertamina tahun ini. 

“Ini kan belum disepakati Kementerian keuangan sejauh ini, mudah-mudahan over kuotanya tidak terlalu besar,” tuturnya.

Pertamina mencatat adanya potensi kerugian kompensasi dan subsidi yang tidak diganti dari over kuota penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar mencapai Rp39,18 triliun pada akhir 2022.

Sekalipun pemerintah berencana untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi pada 1 Agustus 2022, Pertamina memproyeksikan konsumsi masyarakat bakal tetap mengalami kelebihan mencapai 5,11 juta kiloliter (KL) akhir tahun nanti. 

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan kelebihan konsumsi itu dipicu oleh pemulihan pandemi yang relatif cepat yang belakangan ikut mengerek kegiatan ekonomi masyarakat pada paruh kedua tahun ini.

“Kita prediksikan kalau trennya seperti saat ini maka untuk pertalite akan meningkat melebihi kuotanya di 2022 sebesar 23,05 juta KL, dengan tren hari ini maka akan meningkat menjadi 28,5 juta KL,” kata Nicke saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Jakarta (Rabu (6/7/2022). 

Seperti diberitakan sebelumnya, adapun kuota Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite yang disiapkan pemerintah hanya sebesar 23,05 juta KL pada 2022. Di sisi lain, kuota yang dialokasikan Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar hanya sebesar 14,91 juta KL. 

Sementara itu, Pertamina memproyeksikan tingkat konsumsi masyarakat untuk kedua jenis BBM murah itu masing-masing mencapai 28,50 juta KL dan 17,21 juta KL hingga akhir 2022.

Sementara itu, rencana pembatasan pembelian JBKP Pertalite dan JBT Solar dipastikan hanya mengurangi potensi kelebihan konsumsi atau over kuota relatif kecil dari alokasi kuota yang sudah ditetapkan pada awal tahun. 

“Asumsi kita [pembatasan] dilakukan 1 Agustus 2022 kalau regulasi sudah keluar, maka ini dapat menurunkan 26,7 KL tapi tetap lebih tinggi dibandingkan prognosa masih ada peningkatan 16 persen demikian juga dengan solar,” tuturnya. 

Berdasarkan perhitungan Pertamina, pembatasan penggunaan JBKP Pertalite khusus untuk roda 4 plat hitam 1.500 CC ke bawah dan roda 2 250 CC ke bawah hanya mampu mengurangi volume konsumsi pertalite sebesar 1,78 juta KL menjadi 26,71 juta KL. 

Konsekuensinya dengan kuota awal yang ditetapkan 23,05 juta KL, masih terdapat potensi over kuota pertalite sebesar 3,67 juta KL atau 16 persen lebih tinggi dengan kerugian kompensasi yang tidak diganti sebesar Rp20,65 triliun.

Selain itu pembatasan pada konsumsi solar bakal tetap menyisakan over kuota sebesar 1,44 juta KL atau 10 persen lebih tinggi dari kuota awal yang ditetapkan. 

Lantaran belum ada penyesuaian kuota JBT solar baru, kelebihan konsumsi itu bakal menimbulkan potensi kerugian sebesar Rp19,25 triliun yang terdiri dari kerugian subsidi Rp0,72 triliun dan kerugian kompensasi mencapai Rp18,53 triliun.(Bisnis.com)


No comments

Powered by Blogger.