Curhat Jokowi soal Subsidi Pertalite, Dilema Daya Beli atau Jaga APBN

Dilema subsidi pertalite antara daya beli atau jaga APBN. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan harga BBM jenis pertalite jika tak disubsidi bisa mencapai Rp17.100 per liter. Tapi, pemerintah masih menahan harga BBM pertalite di level Rp7.650 per liter di tengah lonjakan minyak mentah dunia. Kalau tidak, masyarakat berpotensi melakukan demonstrasi berbulan-bulan.

"Bayangkan kalau pertalite naik dari Rp7.650 harga sekarang ini, kemudian naik menjadi harga yang benar adalah Rp17.100, demonya berapa bulan?" ungkap Jokowi dalam acara Silaturahmi Nasional PPAD di Sentul Bogor, Jumat (5/8).

Jika harga pertalite normal tembus Rp17.100 per liter dan setelah disubsdi hanya Rp7.650 per liter, berarti pemerintah mengalokasikan subsidi Rp9.450 per liter. Kuota pertalite ditetapkan 23 juta kiloliter tahun ini. Namun, PT Pertamina (Persero) sendiri memproyeksi kuota akan jebol hingga menjadi 28 juta kiloliter.

Anggaplah kuota benar-benar sampai 28 juta kiloliter atau 28 miliar liter. Jika dikalikan dengan Rp9.450 per liter, maka total subsidi yang dikucurkan pemerintah untuk pertalite saja berpotensi tembus Rp264,6 triliun tahun ini.

Ini baru pertalite, belum subsidi energi lain seperti solar dan listrik. Lalu, subsidi non energi, seperti pupuk. Pemerintah sendiri telah menaikkan anggaran subsidi khusus energi dari Rp170 triliun menjadi Rp502 triliun pada 2022.

"Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp170 triliun sekarang sudah Rp502 triliun. Negara mana pun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu," kata Jokowi.

Lantas, apa situasi ini tak membahayakan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)?

Apalagi, pemerintah harus menurunkan defisit APBN menjadi di bawah 3 persen maksimal tahun depan. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meyakini pemerintah akan terus menahan harga pertalite di level Rp7.650 per liter. Hal ini semata-mata demi menjaga daya beli masyarakat.

"Ini sesuai dengan komitmen Pak Jokowi tidak ada kenaikan barang subsidi pada tahun ini," kata Mamit.

Jika harga pertalite naik, maka ada risiko politik dan sosial yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi. Maklum, tak lama lagi Indonesia akan memasuki tahun politik.

"Belum lagi ini mendekati tahun politik di mana pastinya pemerintah akan menjaga situasi tetap kondusif serta stabil di dalam negeri," terang Mamit.

Di sisi lain, ia menyadari bahwa subsidi energi ini tak murah. Apalagi, kuota pertalite harus ditambah sekitar 3,5 juta sampai 5 juta kiloliter agar cukup memenuhi kebutuhan masyarakat sampai akhir 2022.

"Ini bisa menambah kembali beban APBN. Jika tidak ditambah maka Oktober sampai akhir tahun akan ramai terjadi kelangkaan pertalite," ujar Mamit.

Oleh karena itu, ia berharap revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM bisa segera rampung. Revisi perpres itu akan memuat tentang pembatasan pembelian pertalite di SPBU Pertamina.

Harapannya, penyaluran BBM penugasan seperti pertalite bisa tepat sasaran. Bukan kelas menengah atau menengah atas yang justru ikut menikmati subsidi dari pemerintah.

"Saya masih menunggu revisi Perpres 191/2014 terkait dengan kriteria siapa yang berhak membeli BBM JBT dan JBKP ini. Sehingga program pembatasan yang dilakukan bisa berjalan efektif dan tidak menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Pertamina selaku badan usaha juga akan lebih tenang menjalankannya," papar Mamit.

Pembatasan, sambung Mamit, menjadi solusi utama bagi penyaluran subsidi BBM yang sering tak tepat sasaran. Ia yakin program pembatasan pertalite bisa sukses di lapangan jika semua pihak berkomitmen mengimplementasikan sesuai aturan.

"Pembatasan menjadi salah satu solusi. Sudah cukup kita membakar APBN kita di jalan. Harusnya bisa dimanfaatkan untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan, umkm, atau kegiatan produktif lainnya," jelas Mamit.

Naik Bertahap

Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah tak bisa terus menerus menyalurkan subsidi pertalite secara jor-joran. Apalagi ketidakpastian dunia meningkat, sehingga tak ada yang bisa menjamin harga minyak mentah dunia akan bertahan di level US$90-US$100 per barel dalam waktu mendatang.

Jika pemerintah terus mempertahankan harga pertalite di level Rp7.650 per liter, maka APBN lama-kelamaan akan boncos juga. Ia mengusulkan pemerintah menaikkan harga BBM pertalite secara bertahap. Misalnya, menjadi sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000 per liter.

"Naik bertahap Rp1.000-Rp1.500 per liter. Kenaikannya sedikit-sedikit jadi masyarakat tidak kaget," tutur Tauhid.

Dengan kenaikan bertahap, pemerintah bisa melakukan penyesuaian di APBN juga secara berkala. Alhasil, APBN akan jauh lebih sehat ke depannya. Ia khawatir defisit APBN akan membengkak jika pemerintah tak menaikkan pertalite secara bertahap. Terlebih, pemerintah mewajibkan defisit APBN kembali di bawah 3 persen mulai tahun depan.

"Khawatirnya kalau harga pertalite tak bisa naik, APBN dikorbankan, defisit bisa di atas 3 persen," katanya.

Tauhid mengerti pemerintah ingin menjaga daya beli masyarakat. Kalau harga pertalite naik, maka inflasi otomatis akan meningkat. Lonjakan inflasi akan membuat konsumsi masyarakat berkurang. Ujung-ujungnya, ekonomi domestik akan bergejolak. 

Tapi dilemanya, kalau pemerintah tak menekan subsidi energi dengan menaikkan harga pertalite secara bertahap, maka APBN jadi taruhannya.

"Memang pemerintah menyelamatkan inflasi, tapi lama-lama (APBN) bisa jeblok," imbuh Tauhid.

APBN memang sedang surplus beberapa bulan terakhir. Namun, hal itu terjadi karena pemerintah belum mengeksekusi belanja secara maksimal. Tauhid memproyeksi APBN tetap defisit hingga 4 persen pada akhir 2022. Untuk tahun depan, hal itu akan bergantung dengan keputusan pemerintah mengatur belanja dan subsidi.

"Akhir tahun ini tetap akan defisit, sekarang-sekarang lagi surplus itu bukan karena pemerintah efisiensi tapi kemampuan eksekusi belanja barang dan belanja modal belum optimal," ujar Tauhid.

Alihkan Dana IKN untuk Subsidi

Pendapat berbeda disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies Celios Bhima Yudhistira. Menurut dia, pemerintah harus tetap memberikan subsidi energi besar-besaran demi menjaga harga pertalite.

"Ketika masyarakat butuh subsidi energi, sudah sewajarnya dilakukan penambahan alokasi energi untuk mencegah daya beli turun karena inflasi tinggi kalau harga dilepas ke pasar," ungkap Bhima.

Ia membandingkan dengan Malaysia yang mampu menahan BBM RON 95 di level Rp6.800 per liter. Sementara, pertalite merupakan jenis BBM dengan RON lebih rendah, yakni 90. Jadi, Bhima menilai seharusnya Pemerintah Indonesia bisa tetap mempertahankan harga pertalite di level Rp7.650 per liter.

"Malaysia juga mati-matian pertahankan harga subsidi karena khawatir kalau dibebankan ke konsumen, maka inflasi tinggi," kata Bhima.

Pemerintah, sambung Bhima, bisa mengalihkan dana pembangunan infrastruktur seperti ibu kota baru (IKN) untuk subsidi energi jika kekurangan dana. Jangan sampai, harga pertalite dilepas sesuai mekanisme pasar karena alasan APBN jebol.

"Anggaran-anggaran yang bisa direlokasi salah satunya dana untuk bangun infrastruktur, IKN ditunda dulu. Pembengkakan biaya kereta cepat Jakarta-Bandung jangan pakai uang negara," papar Bhima.

Selain itu, pemerintah juga bisa mengalihkan dana belanja pegawai, pengadaan barang dan jasa, hingga transfer daerah untuk subsidi energi.

"Kalau harga dilepas ke pasar akan menjadi beban masyarakat dan itu sangat merugikan pemulihan ekonomi," tutup Bhima.(CNN Indonesia)


No comments

Powered by Blogger.