Rapuh Ketahanan dan Manajemen Pangan RI di Balik Naik Harga Beras

Pengamat meminta pemerintah segera memperbaiki akurasi data dan distribusi sehingga kelangkaan dan lonjakan harga pangan yang sering terjadi bisa segera diatasi. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim).

JAKARTA -- Harga bahan pokok sudah sudah meroket berjemaah meski Ramadan dan lebaran masih sebulan lagi. Salah satunya, beras. Mengutip Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) secara rata-rata untuk beras kualitas bawah, harga merangkak naik sejak awal Desember lalu dari Rp11.200 menjadi Rp11.900 per kg. 

Hal sama juga terjadi pada beras kelas medium 1 yang harganya naik dari Rp12.350 pada 1 Desember 2022 menjadi Rp13.050 per kg. Hal sama juga terjadi pada minyak goreng.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak menampik kenaikan itu. Ia mengatakan kenaikan harga beras terjadi di seluruh provinsi Indonesia. Hal itu ia sampaikan saat mengecek harga pangan pokok di Pasar Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali, Kamis (2/2).

"Memang naik di semua provinsi. Ini yang sedang kami lakukan operasi pasar oleh Bulog di seluruh provinsi terus dilakukan awal Januari. Tapi baru turunnya sedikit minggu-minggu. Ini terus kami lakukan operasi pasar," ungkap Jokowi.

Minyak goreng murah bernama Minyakita yang digelontorkan pemerintah demi mengatasi kelangkaan dan lonjakan harga yang terjadi pada akhir 2021 dan awal 2022 lalu juga mengalami masalah sama.

Persediaan Minyakita di beberapa daerah langka dan karena itu harganya ikut terkerek naik. Ironisnya, di tengah masalah itu, Mendag Zulkifli Hasan malah menemukan 550 ribu liter atau sekitar 500 ton Minyakita tertahan di gudang kawasan Cilincing, Jakarta Utara saat sidak bersama Satgas Pangan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Selasa (7/2).

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono berpendapat permasalahan itu harus segera diatasi. Menurutnya, semua permasalahan itu merupakan cermin ketahanan pangan di Indonesia rentan.

Ia mengakui pemerintah sudah berupaya mengatasi lonjakan harga beras dengan impor 500 ribu ton. Tapi, pergerakan harga dan pasokan yang terjadi usai impor dilakukan menunjukkan  manajemen cadangan pangan nasional lemah. 

Ia menambahkan ketika beras impor sudah ada, harusnya kelangkaan dan lonjakan harga bisa segera diatasi. Tapi yang terjadi, beras impor sudah datang, harganya masih belum bisa ditekan.

Tak hanya berkaitan dengan hasil dari impor beras, ia juga menyinggung masalah kelemahan pemerintah dalam menjaga lahan pertanian Indonesia dari alih fungsi. 

Akibatnya, di tengah peningkatan kebutuhan pangan, lahan pertanian produktif malah terus menyusut.

"Masalah utama kita di sini adalah lahan pertanian produktif yang terus menyusut, terutama di Jawa yang dipenuhi berbagai proyek strategis nasional (PSN), seperti jalan tol Trans Jawa," ungkap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/2).

Ia mendesak pemerintah segera melakukan validasi ulang luas lahan pertanian produktif, terutama lahan baku sawah. Yusuf juga meminta pemerintah menetapkan peta lahan sawah dilindungi di seluruh provinsi, mekanisme pelepasan sawah yang ketat dan rigid, serta memberikan sanksi keras terhadap konversi lahan sawah.

Masalah krusial lain adalah anggaran ketahanan pangan 2023 hanya sebesar Rp100 triliun, terkecil ketimbang uang untuk kebutuhan yang lain. Yusuf membandingkan dengan anggaran infrastruktur sekitar Rp400 triliun hingga pembayaran bunga utang pemerintah yang berkisar di angka Rp450 triliun.

"Rendahnya anggaran ketahanan pangan di tengah ketahanan pangan yang lemah dan ketergantungan impor tinggi, tentu mengharapkan stabilitas harga seolah menjadi harapan sia-sia. Selama politik anggaran lemah, sulit berharap produktivitas pangan meningkat, sehingga harga pangan akan selalu mudah berfluktuasi," tandasnya.

Sementara itu, Pemerhati Pertanian sekaligus Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (KIBAR) Syaiful Bahari menuding pemerintah abai dengan persaingan tidak sehat di sektor industri beras. Pasalnya, hampir sebagian besar hasil panen seperti di Jawa diserap industri raksasa.

Akibatnya, industri beras kecil dan menengah mangkrak karena tidak mampu bersaing. Syaiful menegaskan seharusnya pemerintah melindungi industri-industri beras kecil dan menengah dari ancaman monopoli industri beras raksasa.

"Untuk mengatasi lonjakan harga beras, pemerintah harus sesegera mungkin membereskan sektor hulu, yakni bagaimana menormalkan harga gabah supaya industri penggilingan padi kecil menengah bisa hidup kembali," saran Syaiful.

Menjelang Ramadan, Syaiful memberikan empat solusi jangka pendek mengatasi lonjakan harga beras. Pertama, pemerintah harus segera memonitor dan mengontrol panen raya semester I 2023, jangan sampai gagal.

Kedua, harus ada kebijakan serius untuk memberangus monopoli pembelian dan stok gabah di kalangan industri beras. Menurutnya, panen bagus yang dibarengi praktik monopoli tidak akan berarti karena gabah dan beras tetap dikuasai industri besar.

Ketiga, Syaiful menyarankan pemerintah memberi insentif ke industri penggilingan padi kecil menengah agar beroperasi kembali dan mampu membeli bahan baku gabah. Soal bentuk insentifnya, ia menegaskan pemerintah harus turun langsung dan buka telinga lebar-lebar mendengarkan keluhan industri kecil dan menengah tersebut.

Keempat, libatkan swasta untuk masalah pengadaan dan distribusi beras. Syaiful mengatakan jika hanya mengandalkan Bulog tidak akan mampu mengatasi masalah pangan RI. Menurutnya, situasi sekarang darurat dan tidak bisa saling ngotot-ngototan.

"Pemerintah melalui Satgas Pangan juga jangan menakut-nakuti industri penggilingan padi dan pedagang yang dibilang menimbun atau mengoplos. Kalau mereka ditakut-takuti, tidak ada yang mau kerja. Hentikan narasi-narasi yang tidak bisa memperbaiki keadaan. Kalau dibuat isu terjadi oplosan beras oleh pedagang atau jaringan distribusi panjang dan jauh, semua itu hanya alasan klasik," pungkasnya.

Sedangkan Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menegaskan sengkarut polemik pangan sebenarnya banyak. Dan impor sebenarnya bukan pilihan terbaik.

Said menilai impor bukan opsi bijak dan cenderung menguntungkan segelintir pihak.

Ia mencontohkan ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim produksi gabah meningkat tahun lalu, tetapi impor dipilih karena cadangan Bulog menipis. Said mengatakan faktanya impor tidak menyelesaikan masalah pangan Indonesia.

Beras impor yang datang bertahap dalam rentang waktu berbeda membuat kemampuan Bulog mengguyur pasar tetap kurang kuat. Hal tersebut yang membuat harga beras di pasar tetap tinggi.

"Harusnya impor adalah pilihan terakhir. Jika betul memang tidak memadai produksi dalam negeri maka pilihannya ada di impor. Kerap kali impor dipilih bukan karena kebutuhan, tapi karena kepentingan, terutama kepentingan ekonomi politik kelompok pemburu rente," ungkap Said.

Said menegaskan perlu ada pengendalian harga. Selain itu, penguatan proses pengawasan oleh pihak berwajib juga penting untuk menghindari praktik manipulasi seperti penimbunan bahan pokok oleh pengusaha atau pelaku pasar.

Menjelang bulan puasa, Said meminta pemerintah menyiapkan cadangan pangan yang memadai, terutama melalui Bulog. Stabilitas harga pangan bisa dicapai melalui mekanisme operasi pasar maupun penguatan distribusi yang merata.

Solusi jangka pendek lainnya adalah memastikan data produksi dan ketersediaan pangan. Dengan demikian, Said menilai pemerintah bisa mendapat gambaran utuh serta strategi pengendalian stok dan harga yang efektif.

"Penganekaragaman pangan juga bisa menjadi salah satu solusi supaya beban pada satu jenis pangan tertentu dapat dikurangi. Saat ini konsumsi pangan pokok sumber karbohidrat bertumpu pada beras dan produk turunan gandum. Dalam kurun lima tahun terakhir konsumsi beras memiliki kecenderungan menurun, namun konsumsi gandum terus meningkat," tandasnya.


Di lain sisi, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menyebut beras dan minyak goreng adalah komoditas krusial menjelang puasa dan lebaran. Kelangkaan Minyakita menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat atas ketersediaan bahan pangan saat ini.
Pengamat meminta pemerintah segera memperbaiki akurasi data dan distribusi sehingga kelangkaan dan lonjakan harga pangan yang sering terjadi bisa segera diatasi. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim).

Padahal, Minyakita sudah menjadi merek favorit masyarakat yang terlanjur pindah dari minyak goreng premium karena lebih ekonomis. Andri mengungkapkan kelangkaan Minyakita terjadi karena stoknya korelatif dengan jumlah ekspor crude palm oil (CPO).

"Minyakita diproduksi dengan jual rugi oleh produsen untuk mendapatkan kuota ekspor. Sehingga ketika ekspor CPO turun karena permintaan dunia yang melemah, maka produksi Minyakita juga ikut turun," tutur Andri.

Menurutnya, ketersediaan Minyakita yang rendah di pasaran bakal menjadi tolok ukur masyarakat dalam menilai kelangkaan pangan. Apabila masyarakat beranggapan ketersediaan pangan tidak akan mencukupi kebutuhan, perilaku spekulatif seperti memborong bahan pokok bakal muncul dan memperparah kelangkaan.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian lantas menyoroti soal distribusi pangan. Ia menegaskan kunci stabilitas harga pangan ada di distribusi dan ketersediaan data yang akurat.

Eliza mengatakan sentra produksi pangan yang ada di daerah kerap terkendala cuaca dalam melakukan distribusi pangan. Apesnya, infrastruktur jalan kurang memadai sehingga distribusi terhambat.

"Pemerintah pusat dan daerah bekerja sama untuk menjaga kelancaran rantai pasok bahan pangan. Kelancaran distribusi barang dan informasi dari sentra produksi ini harus dibangun sebaik-baiknya agar tidak terkendala sehingga membuat kelangkaan dan harga menjadi terkerek," jelasnya.

Eliza mengungkapkan sejatinya ketersediaan pangan di daerah cukup berlimpah, tetapi terkendala distribusi. Infrastruktur pendukung yang tidak merata menjadi PR besar Indonesia. Di lain sisi, jalan tol kurang efisien dari segi biaya untuk pengiriman jarak jauh.

Ia menjelaskan bahwa minimnya ketersediaan infrastruktur pendukung menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik. Eliza merinci saat ini rata-rata biaya logistik Indonesia masih bertengger di angka 25 persen terhadap PDB, lebih tinggi jika dibandingkan dengan Vietnam yang hanya 2 persen, Malaysia 13 persen, Thailand 15 persen, dan Singapura 8 persen.(CNN Indonesia)


No comments

Powered by Blogger.